Dalam
bahasa Indonesia Masturbasi memiliki beberapa istilah yaitu onani atau rancap,
yang maksudnya perangsangan organ sendiri dengan cara menggesek-geseknya
melalui tangan atau benda lain hingga mengeluarkan sperma dan mencapai
orgasme. Sedangkan bahasa gaulnya adalah coli atau main sabun yaitu kegiatan
yang dilakukan seseorang dalam memenuhi kebutuhan seksualnya, dengan
menggunakan tambahan alat bantu sabun atau benda-benda lain, sehingga dengannya
dia bisa mengeluarkan mani(ejakulasi).
Tujuan
utama masturbasi adalah mencari kepuasan atau melepas keinginan nafsu seksual
dengan jalan tidak bersenggama. Akan tetapi masturbasi tidak dapat memberikan
kepuasan yang sebenarnya. Berbeda dengan bersenggama yang dilakukan oleh dua
orang yang berlawanan jenis dalam ikatan perkawinan yang syah. Mereka mengalami
kesenangan, kebahagiaan, keasyikan bersama dan penyerahan menyeluruh.
Dalam masturbasi satu-satunya sumber rangsangan adalah khayalan
imaji diri sendiri. Itulah yang menciptakan suatu gambaran erotis dalam
pikiran. Masturbasi merupakan rangsangan yang sifatnya lokal pada anggota
kelamin. Akibatnya masturbasi tidak bekerja sebagai suatu kebajikan. Hubungan
seks yang normal dapat menimbulkan rasa bahagia dan gembira, sedangkan
masturbasi malah menciptakan depresi emosional dan psikologis. Oleh karena itu
memuaskan diri dengan masturbasi bertentangan dengan kehidupan seksual yang
normal.
Menurut
penelitian, mereka yang biasanya melakukan masturbasi berumur antara tiga belas
hingga dua puluh tahun. Pada umumnya yang melakukan masturbasi adalah mereka
yang belum kawin, menjanda, menduda atau orang-orang yang kesepian atau dalam
pengasingan.
Anak
laki-laki lebih banyak melakukan masturbasi daripada anak perempuan.
Penyebabnya antara lain, pertama, nafsu seksual anak perempuan tidak datang
melonjak dan eksplosit. Kedua, perhatian anak perempuan tidak tertuju kepada
masalah senggama karena mimpi seksual dan mengeluarkan sperma (ihtilam) lebih
banyak dialami laki-laki. Mimpi erotis yang menyebabkan orgasme pada perempuan
terjadi jika perasaan itu telah dialaminya dalam keadaan terjaga.
Masalah
yang berkaitan dengan onani atau dalam bahasa arabnya disebut istimna‘ banyak
dibahas oleh para ulama. Sebagian besar ulama mengharamkannya namun ada juga
yang membolehkannya.
1.
Yang mengharamkan
Umumnya
para ulama yang mengharamkan onani berpegang kepada firman Allah SWT:”Dan
orang-orang yang memelihara kemaluannya kecuali terhadap isterinya atau hamba
sahayanya, mereka yang demikian itu tidak tercela. Tetapi barangsiapa mau
selain yang demikian itu, maka mereka itu adalah orang-orang yang melewati
batas.” (Al-Mu‘minun: 5-7).Mereka memasukkan onani sebagai perbuatan tidak
menjaga kemaluan.
Dalam
kitab Subulus Salam juz 3 halaman 109 disebutkan hadits yang berkaitan dengan
anjuran untuk menikah: Rasulullah SAW telah bersabda kepada kepada kami,”Wahai
para pemuda, apabila siapa diantara kalian yangtelah memiliki baah (kemampuan)
maka menikahlah, kerena menikah itu menjaga pandangan dan kemaluan. Bagi yang
belum mampu maka puasalah, karena puasa itu sebagai pelindung. HR Muttafaqun
‘alaih.
Di
dalam keterangannya dalam kitab Subulus Salam, Ash-Shan‘ani menjelaskan bahwa
dengan hadits itu sebagian ulama Malikiyah mengharamkan onani dengan alasan
bila onani dihalalkan, seharusnya Rasulullah SAW memberi jalan keluarnya dengan
onani saja karena lebih sederhana dan mudah. Tetapi Beliau malah menyuruh untuk
puasa.
Sedangkan
Imam Asy-Syafi‘i mengharamkan onani dalam kitab Sunan Al-Baihaqi Al-Kubro jilid
7 halaman 199 dalam Bab Onani ketika menafsirkan ayat Al-Quran surat
Al-Mukminun …Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya.Begitu juga dalam
kitab beliau sendiri Al-Umm juz 5 halaman 94 dalam bab Onani.
Imam
Ibnu Taymiyah ketika ditanya tentang hukum onani beliau mengatakan bahwa onani
itu hukum asalnya adalah haram dan pelakunya dihukum ta‘zir, tetapi tidak
seperti zina.Namun beliau juga mengatakan bahwa onani dibolehkan oleh sebagian
shahabat dan tabiin karena hal-hal darurrat seperti dikhawatirkan jatuh ke zina
atau akan menimbulkan sakit tertentu. Tetapi tanpa alasan darurat, beliau (Ibnu
Taymiyah) tidak melihat adanya keringanan untuk memboleh onani.
2.
Yang membolehkan
Diantara
para ulama yang membolehkan istimna‘ antara lain Ibnu Abbas, Ibnu Hazm dan
Hanafiyah dan sebagian Hanabilah.Ibnu Abbas mengatakan onani lebih baik dari
zina tetapi lebih baik lagi bila menikahi wanita meskipun budak.Ada seorang
pemuda mengaku kepada Ibnu Abbas,”Wahai Ibnu Abbas, saya seorang pemuda dan
melihat wanita cantik. Aku mengurut-urut kemaluanku hingga keluar mani”. Ibnu
Abbas berkata,”Itu lebih baik dari zina, tetapi menikahi budak lebih baik dari
itu (onani).
Mazhab
Zhahiri yang ditokohi oleh Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla juz 11 halaman
392 menuliskan bahwa Abu Muhammad berpendapat bahwa istimna‘ adalah mubah
karena hakikatnya hanya seseorang memegang kemaluannya maka keluarlah maninya.
Sedangkan nash yang mengharamkannya secara langsung tidak ada.
Sebagaimana
dalam firman Allah: “Dan telah Kami rinci hal-hal yang Kami haramkan” Sedangkan
onani bukan termasuk hal-hal yang dirinci tentang keharamannya maka hukumnya
halal. Pendapat mazhab ini memang mendasarkan pada zahir nash baik dari
Al-Quran maupun Sunnah.
Sedangkan
para ulama Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah)dan sebagian Hanabilah
(pengkikut mazhab Imam Ahmad) -sebagaimana tertera dalam Subulus Salam juz 3
halaman 109 dan juga dalam tafsir Al-Qurthubi juz 12 halaman 105- membolehkan
onani dan tidak menjadikan hadits ini tentang pemuda yang belum mampu menikah
untuk puasa diatas sebagai dasar diharamkannya onani. Berbeda dengan ulama
syafi‘iah dan Malikiyah. Mereka memandang bahwa onani itu dibolehkan. Alasannya
bahwa mani adalah barang kelebihan. Oleh karena itu boleh dikeluarkan, seperti
memotong daging lebih.
Namun
sebagai cataan bahwa ada dua pendapat dari mazhab Hanabilah, sebagian
mengharamkannya dan sebagian lagi membolehkannya. Bila kita periksa kitab
Al-Kafi fi Fiqhi Ibni Hanbal juz 4 halaman 252 disebutkan bahwa onani itu
diharamkan.
Ulama-ulama
Hanafiah juga memberikan batas kebolehannya itu dalam dua perkara:
1.
Karena takut berbuat zina.
2.
Karena tidak mampu kawin.
Pendapat
Imam Ahmad memungkinkan untuk kita ambil dalam keadaan gharizah itu memuncak
dan dikawatirkan akan jatuh ke dalam haram. Misalnya seorang pemuda yang sedang
belajar atau bekerja di tempat lain yang jauh dari negerinya, sedang
pengaruh-pengaruh di hadapannya terlalu kuat dan dia kawatir akan berbuat zina.
Karena itu dia tidak berdosa menggunakan cara ini (onani) untuk meredakan
bergeloranya gharizah tersebut.
Tetapi
yang lebih baik dari itu semua, ialah seperti apa yang diterangkan oleh
Rasulullah s.a.w. Terhadap pemuda yang tidak mampu kawin, yaitu kiranya dia mau
memperbanyak puasa, dimana puasa itu dapat mendidik beribadah, mengajar
bersabar dan menguatkan kedekatan untuk bertaqwa dan keyakinan terhadap
penyelidikan (muraqabah) Allah kepada setiap jiwa seorang mu‘min.
Untuk
itu Rasuluilah s.a.w. Bersabda sebagai berikut:
“Hai
para pemuda! Barangsiapa di antara kamu sudah ada kemampuan, maka kawinlah
sebab dia itu dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan; tetapi
barangsiapa tidak mampu, maka hendaknya ia berpuasa, sebab puasa itu baginya
merupakan pelindung.” (Riwayat Bukhari).
Sedangkan
dari sisi kesehatan, umumnya para dokter mengatakan bahwa onani itu tidak
berbahaya secara langsung. Namun untuk lebih jelasnya silahkan langsung kepada
para dokter yang lebih menguasai bidang ini.
+ komentar + 1 komentar
Menggugah iman (Test Comment)
Posting Komentar