Ada dua perkara yang menjadi sebab diharamkannya gambar bernyawa:
1. Karena dia disembah selain Allah.
Ini berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu anha dia berkata: Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda tentang gambar-gambar yang ada di gereja Habasyah:
إِنَّ أُولَئِكَ إِذَا كَانَ فِيهِمْ الرَّجُلُ الصَّالِحُ فَمَاتَ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلكَ الصُّوَرَ فَأُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Mereka (ahli kitab), jika
ada seorang yang saleh di antara mereka meninggal, mereka membangun masjid di
atas kuburnya dan mereka menggambar gambar-gambar itu padanya. Merekalah
makhluk yang paling jelek di sisi Allah pada hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari no. 427 dan
Muslim no. 528)
Juga berdasarkan hadits Abdullah bin Mas’ud
radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ
“Sesungguhnya manusia yang
paling keras siksaannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah para penggambar.” (HR. Al-Bukhari no. 5950 dan Muslim
no. 2109)
Dan sudah menjadi kesepakatan para ulama bahwa dosa yang siksaannya paling
besar adalah kesyirikan.
Al-Khaththabi berkata, “Tidaklah hukuman bagi (pembuat) gambar (bernyawa) itu
sangat besar kecuali karena dia disembah selain Allah, dan juga karena
melihatnya bisa menimbulkan fitnah, dan membuat sebagian jiwa cendrung
kepadanya.” Al-Fath (10/471)
2. Dia diagungkan dan dimuliakan baik dengan
dipasang atau digantung, karena mengagungkan gambar merupakan sarana kepada
kesyirikan.
Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata dalam Al-Qaul Al-Mufid (3/213), “Alasan
disebutkannya kuburan bersama dengan gambar adalah karena keduanya bisa menjadi
sarana menuju kesyirikan. Karena asal kesyirikan pada kaum Nuh adalah tatkala
mereka menggambar gambar orang-orang saleh, dan setelah berlalu masa yang lama
merekapun menyembahnya.”
Dalam fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah (1/455) disebutkan, “Karena gambar bisa menjadi
sarana menuju kesyirikan, seperti pada gambar para pembesar dan orang-orang
saleh. Atau bisa juga menjadi sarana terbukanya pintu-pintu fitnah, seperti
pada gambar-gambar wanita cantik, pemain film lelaki dan wanita, dan
wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang.”
Tambahan:
Sebagian ulama menambahkan illat (sebab) pengharaman yang lain yaitu karena
gambar bernyawa menyerupai makhluk ciptaan Allah. Mereka berdalil dengan hadits
Aisyah:
إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُشَبِّهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ
“Sesungguhnya manusia yang paling berat siksaannya pada hari kiamat adalah
mereka yang menyerupakan makhluk Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 5954 dan Muslim
no. 5525 dan ini adalah lafazhnya)
Hanya saja sebagian ulama lainnya menolak illat ini dengan beberapa alasan:
1. Makhluk-makhluk Allah sangat banyak, seandainya sebab
larangan menggambar adalah karena menyerupai ciptaan Allah, maka keharusannya
dilarang juga untuk menggambar matahari, langit, pegunungan, dan seterusnya,
karena mereka semua ini adalah makhluk Allah. Padahal para ulama telah sepakat
akan bolehnya menggambar gambar-gambar di atas.
2. Dalil-dalil telah menetapkan dikecualikannya mainan
anak-anak dari larangan gambar bernyawa, dan tidak diragukan bahwa mainan
anak-anak juga mempunyai kemiripan dengan makhluk ciptaan Allah. Tapi bersamaan
dengan itu Nabi shallallahu alaihi wasallam mengizinkan Aisyah untuk bermain
boneka.
3. Dalil-dalil juga mengecualikan bolehnya menggunakan
gambar-gambar bernyawa jika dia tidak dipasang atau digantung atau dengan kata
lain dia direndahkan dan dihinakan. Ini berdasarkan hadits Aisyah yang akan
datang, dimana Nabi shallallahu alaihi wasallam mengizinkan Aisyah membuat
bantal dari kain yang bergambar, padahal gambar tersebut menyerupai ciptaan
Allah.
4. Ketiga alasan di atas menghantarkan kita kepada alasan
yang keempat yaitu tidak mungkinnya kita memahami hadits Aisyah di atas dengan
pemahaman bahwa alasan diharamkannya gambar hanya karena dia menyerupai ciptaan
Allah semata. Akan tetapi kita harus memahaminya dengan makna ‘penyerupaan’
yang lebih khusus, yaitu menyerupakan Allah dengan makhluk yang dia gambar
tersebut. Ini bisa kita lihat dari kalimat: يُشَبِّهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ Hal itu
karena orang-orang Arab tidak pernah mengikutkan huruf ‘ba’ pada maf’ulun bihi
(objek). Akan tetapi mereka hanya menggunakan susunan kalimat seperti ini jika
pada kalimat tersebut terdapat maf’ulun bih baik disebutkan seperti pada
kalimat: كسرْتُ بالزجاجةِ رأسَه (aku memecahkan kepalanya dengan kaca) maupun jika dia
dihilangkan seperti pada hadits Aisyah di atas: يُشَبِّهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ,
dimana kalimat lengkapnya (taqdirnya) -wallahu a’lam- adalah: الذين يشبهون الله بخلق الله
(mereka yang menyerupakan Allah dengan makhluk Allah) yakni dia juga
menyerahkan ibadah kepada gambar tersebut sebagaimana dia beribadah kepada
Allah, atau dengan kata lain dia berbuat kesyirikan kepada Allah bersama
gambar-gambar tersebut.
Makna inilah yang ditunjukkan dalam hadits-hadits ada seperti hadits Ibnu
Mas’ud yang tersebut pada illat pertama di atas, dimana penggambar disifati
sebagai manusia yang paling keras siksaannya. Dan sudah dimaklumi bahwa manusia
yang paling keras siksaannya adalah kaum kafir dan orang-orang musyrik.
Juga hadits Aisyah radhiallahu anha dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda tentang gambar-gambar yang ada di gereja Habasyah:
إِنَّ أُولَئِكَ إِذَا كَانَ فِيهِمْ الرَّجُلُ الصَّالِحُ فَمَاتَ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلكَ الصُّوَرَ فَأُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Mereka (ahli kitab), jika
ada seorang yang saleh di antara mereka meninggal, mereka membangun masjid di
atas kuburnya dan mereka menggambar gambar-gambar itu padanya. Merekalah
makhluk yang paling jelek di sisi Allah pada hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari no. 427 dan
Muslim no. 528)
Dan tentunya manusia yang paling jelek adalah orang-orang kafir dan musyrik.
Juga hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Saya mendengar
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِي فَلْيَخْلُقُوا بَعُوضَةً أَوْ لِيَخْلُقُوا ذَرَّةً
“Allah Azza wa Jalla
berfirman, “Siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang berkehendak mencipta
seperti ciptaan-Ku. Kenapa mereka tidak menciptakan lalat atau kenapa mereka
tidak menciptakan semut kecil (jika mereka memang mampu)?!” (HR. Al-Bukhari no. 5953,
Muslim no. 2111, Ahmad, dan ini adalah lafazhnya)
Maksud hendak mencipta seperti ciptaan-Ku adalah: Bermaksud menandingi sifat
penciptaan Allah, dan ini jelas merupakan kesyirikan dalam rububiah, karenanya
dia dikatakan sebagai makhluk yang paling zhalim karena kesyirikan adalah
kezhaliman yang paling besar. Adapun bermaksud menyerupai makhluk tanpa
bermaksud menyerupai sifat penciptaan, maka hal itu tidak termasuk dalam hadits
ini.
Kesimpulannya: Illat (sebab) diharamkannya gambar hanya terbatas pada dua
perkara yang disebutkan pertama. Adapun karena menyerupai ciptaan Allah, maka
tidak ada dalil tegas yang menunjukkan dia merupakan sebab terlarangnya
menggambar, wallahu a’lam.
Setelah kita memahami sebab dilarangnya menggambar, maka berikut
kami bawakan secara ringkas hukum menggambar dalam Islam, maka kami katakan:
Gambar terbagi
menjadi 2:
1. Yang mempunyai roh. Ini terbagi lagi menjadi dua:
a. Yang 3 dimensi. Ini terbagi menjadi dua:
Pertama: Gambar satu tubuh penuh.
Jika bahan pembuatnya tahan lama -seperti kayu atau batu atau yang semacamnya-,
maka hampir seluruh ulama menyatakan haramnya secara mutlak, baik ditujukan
untuk disembah maupun untuk selainnya. Sementara dinukil dari Abu Said
Al-Ashthakhri Asy-Syafi’i bahwa dia berpendapat: Gambar 3 dimensi hanya haram
dibuat jika ditujukan untuk ibadah. Akan tetapi itu adalah pendapat yang lemah.
Adapun yang bahan bakunya tidak tahan lama, misalnya dibuat dari
bahan yang bisa dimakan lalu dibentuk menjadi gambar makhluk, seperti coklat,
roti, permen, dan seterusnya. Yang benar dalam masalah ini adalah jika dia dibuat
untuk dipasang atau digantung maka itu diharamkan. Akan tetapi jika dia dibuat
untuk dimakan atau dijadikan mainan anak maka tidak mengapa karena itu adalah
bentuk menghinakannya, dan akan diterangkan bahwa mainan anak-anak dikecualikan
dari hukum ini.
Kemudian, di sini ada silang pendapat mengenai mainan anak-anak,
apakah diperbolehkan atau tidak. Ada dua pendapat di kalangan ulama:
Pertama: Boleh. Ini adalah mazhab Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan yang
diamalkan oleh kebanyakan ulama belakangan dari mazhab Ahmad. Dan inilah
pendapat yang lebih tepat.
Mereka berdalil dengan hadits dari Aisyah radhiallahu ‘anha dia berkata:
كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ لِي صَوَاحِبُ يَلْعَبْنَ مَعِي فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ يَتَقَمَّعْنَ مِنْهُ فَيُسَرِّبُهُنَّ إِلَيَّ فَيَلْعَبْنَ مَعِي
“Aku pernah bermain dengan
(boneka) anak-anak perempuan di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan
aku mempunyai teman-teman yang biasa bermain denganku. Apabila Rasulullah
shallaallahu’alaihi wa sallam masuk, mereka bersembunyi dari beliau. Sehingga
beliau memanggil mereka supaya bermain bersamaku.” (HR. Al-Bukhari no. 5665 dan
Muslim no. 4470)
Pendapat kedua: Tetap tidak diperbolehkan. Ini adalah Mazhab Ahmad dan pendapat
dari sekelompok ulama Malikiah dan Syafi’iyah. Pendapat ini juga dinukil dari
Ibnu Baththal, Ad-Daudi, Al-Baihaqi, Al-Hulaimi, dan Al-Mundziri.
Catatan:
Perbedaan pendapat mengenai mainan anak 3 dimensi yang dinukil dari para ulama
salaf hanya berkenaan dengan mainan yang dibuat dari benang wol, kain, dan
semacamnya. Adapun mainan yang terbuat dari plastik -seperti pada zaman ini-,
maka para ulama belakangan juga berbeda pendapat tentangnya:
1. Diharamkan. Yang dikenal berpendapat dengan pendapat ini adalah Asy-Syaikh
Muhammad bin Ibrahim rahimahullah.
2. Boleh, dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama di zaman ini, dan inilah
insya Allah pendapat yang lebih tepat.
Kedua: Jika gambarnya hanya berupa sebagian tubuh. Ini juga
terbagi dua:
1. Yang tidak ada adalah kepalanya. Hukumnya adalah boleh karena dia tidak lagi
dianggap gambar makhluk bernyawa. Ini adalah pendapat seluruh ulama kecuali
Al-Qurthubi dari mazhab Al-Maliki dan Al-Mutawalli dari mazhab Asy-Syafi’i, dan
keduanya terbantahkan dengan ijma’ ulama yang sudah ada sebelum keduanya.
2. Yang tidak ada adalah selain kepalanya, dan ini juga ada dua bentuk:
a. Jika yang tidak ada itu tidaklah membuat manusia mati, misalnya gambarnya
seluruh tubuh kecuali kedua tangan dan kaki. Karena manusia yang tidak
mempunyai tangan dan kaki tetap masih bisa hidup. Hukum bentuk seperti ini sama
seperti hukum gambar satu tubuh penuh yaitu tetap dilarang.
b. Jika yang tidak ada itu membuat manusia mati, misalnya gambar setengah
badan. Karena manusia yang terbelah hingga dadanya tidak akan bisa bertahan
hidup. Maka gambar seperti ini boleh karena diikutkan hukumnya kepada gambar
makhluk yang tidak bernyawa. Ini merupakan mazhab Imam Empat.
b. Yang 2 dimensi. Yang dua dimensi terbagi lagi
menjadi 2:
Pertama: Yang dibuat dengan tangan, baik secara langsung maupun secara tidak
langsung seperti menggambar melalui komputer tapi tetap dengan tangan (misalnya
dengan memegang mouse) . Ini terbagi juga menjadi dua:
1. Gambarnya tidak bergerak, maka ini juga ada dua bentuk:
• Gambar satu tubuh penuh. Ada dua pendapat besar di kalangan
ulama mengenai hukumnya:
a. Haram secara mutlak. Ini adalah riwayat yang paling shahih
dari Imam Ahmad, salah satu dari dua sisi dalam mazhab Abu Hanifah, dan sisi
yang paling shahih dalam mazhab Asy-Syafi’i.
b. Haram kecuali yang dibuat untuk direndahkan dan dihinakan
atau yang dijadikan mainan anak. Ini adalah sisi yang lain dalam mazhab
Hanabilah dan Asy-Syafi’iyah, sisi yang paling shahih dalam mazhab Abu Hanifah,
dan yang baku dalam mazhab Malik.
Mereka berdalil dengan hadits Aisyah radhiallahu anha berkata: Rasulullah masuk
ke rumahku sementara saya baru saja menutup rumahku dengan tirai yang padanya
terdapat gambar-gambar. Tatkala beliau melihatnya, maka wajah beliau berubah
(marah) lalu menarik menarik tirai tersebut sampai putus. Lalu beliau bersabda:
إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُشَبِّهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ
“Sesungguhnya manusia yang
paling berat siksaannya pada hari kiamat adalah mereka yang menyerupai
penciptaan Allah.” (HR.
Al-Bukhari no. 5954 dan Muslim no. 5525 dan ini adalah lafazhnya)
Dalam riwayat Muslim:
أَنَّهَا نَصَبَتْ سِتْرًا فِيهِ تَصَاوِيرُ فَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَنَزَعَهُ ، قَالَتْ : فَقَطَعْتُهُ وِسَادَتَيْنِ
“Dia (Aisyah) memasang tirai
yang padanya terdapat gambar-gambar, maka Rasulullah masuk lalu mencabutnya.
Dia berkata, “Maka saya memotong tirai
tersebut lalu saya membuat dua bantal darinya.”
Maka hadits ini dan yang semisalnya menunjukkan bahwa selama gambar tersebut
tidak dipasang dan tidak juga digantung maka dia sudah dikatakan ‘mumtahanah’
(direndahkan/dihinakan).
1. Adapun gambar dua dimensi yang tidak satu tubuh penuh
(misalnya setengah badan), maka perincian dan hukumnya sama seperti pada
pembahasan gambar 3 dimensi, demikian pula pendapat yang rajih di dalamnya.
2. Jika gambar dengan tangan ini bergerak, atau yang kita
kenal dengan kartun. Yaitu dimana seseorang menggambar beberapa gambar yang
hampir mirip, lalu gambar-gambar ini ditampilkan secara cepat sehingga
seakan-akan dia bergerak.
Hukumnya sama seperti gambar yang tidak bergerak di atas, karena hakikatnya dia
tidak bergerak akan tetapi dia hanya seakan-akan bergerak di mata orang yang
melihatnya.
Kedua: Yang dibuat dengan alat, baik gambarnya tidak bergerak
seperti foto maupun bergerak seperti yang ada di televisi.
Ini termasuk masalah kontemporer karena yang seperti ini belum ada bentuknya di
zaman para ulama salaf. Gambar dengan kamera dan semacamnya ini baru muncul
pada tahun 1839 M yang pertama kali diperkenalkan oleh seorang berkebangsaan
Inggris yang bernama William Henry Fox.
Ada dua pendapat di kalangan ulama belakangan berkenaan dengan hal
ini:
Pendapat pertama: Diharamkan kecuali yang dibutuhkan dalam keadaan terpaksa,
seperti foto pada KTP, SIM, Paspor, dan semacamnya. Ini adalah pendapat
masyaikh: Muhammad bin Ibrahim, Abdul Aziz bin Baaz, Abdurrazzaq Afifi,
Al-Albani, Muqbil bin Hady, Ahmad An-Najmi, Rabi’ bin Hadi, Saleh Al-Fauzan,
dan selainnya rahimahumullah.
Para ulama ini berdalil dengan 5 dalil akan tetapi semuanya tidak jelas
menunjukkan haramnya gambar dengan alat ini.
Pendapat kedua: Boleh karena yang dibuat dengan alat bukanlah
merupakan gambar hakiki, karenanya dia tidak termasuk ke dalam dalil-dalil yang
mengharamkan gambar. Ini adalah pendapat masyaikh: Muhammad bin Saleh
Al-Utsaimin, Abdul Aziz bin Abdillah Alu Asy-Syaikh, Abdul Muhsin Al-Abbad, dan
selainnya rahimahumullah.
Para ulama ini berdalil dengan 3 dalil akan tetapi hakikatnya hanya kembali
kepada 1 dalil yaitu bahwa gambar dengan alat bukanlah gambar hakiki.
Kami sengaja tidak membawakan dalil-dalil tiap pendapat karena ini
hanyalah pembahasan ringkas dan hanya untuk merinci masalah dalam hal ini. Ala
kulli hal, pendapat yang lebih tepat menurut kami adalah pendapat yang kedua,
yaitu yang berpendapat bahwa gambar dengan alat tidaklah diharamkan pada
dasarnya, kecuali jika dia disembah selain Allah atau dia dipasang atau
digantung yang merupakan bentuk pengagungan kepada gambar dan menjadi wasilah
kepada kesyirikan wallahu a’lam.
Pendapat ini kami pandang lebih kuat karena pada dasarnya gambar dengan alat
bukanlah ‘shurah’ secara bahasa. Hal itu karena ‘shurah’ (gambar) secara bahasa
adalah ‘at-tasykil’ yang bermakna membentuk sebuah ‘syakl’ (bentuk) atau
‘at-tashwir’ yang bermakna menjadikan sesuatu di atas bentuk atau keadaan
tertentu. Jadi ‘shurah’ yang hakiki secara bahasa mengandung makna memunculkan
atau mengadakan zat yang tidak ada sebelumnya.
Dan makna inilah yang
ditunjukkan dalam Al-Qur`an, seperti pada firman-Nya:
وَصَوَّرَكُمْ فِي الْأَرْحَامِ كَيْفَ يَشَاءُ
“Dan Dia membentuk kalian
di dalam rahim sesuai dengan kehendak-Nya.”
Juga pada firman-Nya:
فِي أَيِّ صُوْرَةٍ مَا شَاءَ رَكَّبَكَ
“Pada bentuk apa saja yang
Dia kehendaki, Dia membentuk kalian.”
Sementara gambar fotografi tidaklah mengandung makna ‘shurah’ yang kita
sebutkan di atas. Karena gambar fotografi bukanlah memunculkan suatu zat/bentuk
yang tidak ada sebelumnya, akan tetapi gambar fotografi hanyalah kebalikan dari
benda aslinya.
Hal ini bisa kita pahami dengan memahami prinsip kerja kamera
yaitu sebagai berikut:
Kamera terdiri dari lensa cembung dan film, jika dia menerima cahaya (dalam hal
ini cahaya berbentuk objek yang dipotret), maka lensa ini akan memfokuskan
cahaya tersebut, dimana hasilnya adalah berupa bayangan yang terbalik yang bisa
ditangkap oleh layar. Bayangan ini terekam dalam film yang sensitif terhadap
cahaya.
Untuk membuktikan hal ini, kita bisa mengambil sebuah lensa cembung (lup). Kita
hadapkan lup ini menghadap keluar jendela yang terbuka. Lalu kita letakkan
selembar kertas putih di belakang lup tersebut, maka kita pasti akan melihat
sebuah bayangan pemandangan luar jendela di kertas putih tadi akan tetapi posisinya
terbalik.
Setelah kita memahami prinsip kerja kamera, maka kita tidak akan mendapati
makna ‘shurah’ di dalamnya. Yang menjadi ‘shurah’ hakiki dalam kasus di atas
adalah cahaya (berbentuk benda) yang datang menuju lensa kamera, sementara
cahaya ini yang mengadakan dan membentuknya adalah Allah Ta’ala, bukan kamera
dan bukan pula sang fotografer. Kamera sendiri hanya membalik bayangan yang
datang tersebut dan kamera ini dioperasikan oleh fotografer.
Sekarang akan muncul pertanyaan: Apakah proses membalik cahaya
benda dianggap sebagai ‘shurah’ atau gambar?
Jawabannya: Tidak, dia bukanlah ‘shurah’. Karena ‘shurah’ tidak mungkin ada
kecuali ada ‘mushawwir’ (penggambar) dan orang ini harus punya kemampuan
menggambar. Sementara membalik cahaya bisa terjadi walaupun tidak ada mushawwir
atau orang yang melakukannya tidak paham menggambar. Misalnya: Seseorang
berdiri di depan cermin atau air sehingga terlihat bayangannya. Maka bayangan
ini hanyalah kebalikan dari benda aslinya, orang yang berdiri tidak melakukan apa-apa,
tidak menyentuh apa-apa, bahkan mungkin dia adalah orang yang tidak bisa
menggambar sama sekali. Karenanya tidak ada seorangpun yang menamakan bayangan
di cermin sebagai ‘shurah’ (gambar), baik secara bahasa maupun secara urf
(kebiasaan).
Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin memperumpamakan hal ini seperti memfoto kopi sebuah
buku, karena huruf-huruf yang ada di dalam hasil foto kopian adalah hasil
tulisan pemilik buku, bukan hasil tulisan orang yang mengoperasikan foto kopi
dan bukan bula tulisan dari foto kopi tersebut.
Demikian penjelasannya secara ringkas, wallahu a’lam bishshawab.
Catatan:
Ketika kita katakan bahwa gambar 2 dimensi dengan alat bukanlah gambar secara
hakiki, maka itu tidaklah mengharuskan bolehnya menggantung foto-foto karena
hal itu bisa menjadi sarana menuju pengagungan yang berlebihan kepada makhluk
yang hal itu merupakan kesyirikan.
2. Yang tidak mempunyai roh. Terbagi menjadi:
a. Yang tumbuh seperti tanaman.
Hukumnya boleh berdasarkan pendapat hampir seluruh ulama.
b. Benda mati. Yang ini terbagi:
1. Yang bisa dibuat oleh manusia.
2. Yang hanya bisa dicipta oleh Allah seperti matahari
Hukum gambar yang tidak mempunyai roh dengan semua bentuknya di atas adalah
boleh berdasarkan dalil-dalil yang telah kami sebutkan di sini. Karenanya para
ulama sepakat akan bolehnya menggambar makhluk yang tidak bernyawa.
Sebagai catatan terakhir kami katakan:
Di sini kami hanya menyebutkan hukum asal gambar dengan semua bentuknya, kami
tidak berbicara mengenai hukum gambar dari sisi penggunaannya atau berdasarkan
apa yang terdapat dalam gambar tersebut. Karena para ulama sepakat tidak boleh
melihat aurat sesama jenis atau lawan jenis atau aurat yang bukan mahramnya
atau melihat perkara haram lainnya, sebagaimana mereka sepakat tidak bolehnya
melihat sesuatu (baik berupa gambar maupun selainnya) yang menyibukkan dan
melalaikan dari ibadah, sebagaimana haramnya menggantung atau memasang sesuatu
dengan tujuan diagungkan, baik dia berupa gambar maupun bukan. Wallahu Ta’ala
A’la wa A’lam.
[Sumber bacaan: Mas`alah At-Tashwir oleh Dr. Abdul Aziz bin Ahmad
Al-Bajadi, Bayan Tadhlil fii Fatwa Al-Umrani fii Jawaz At-Tashwir oleh
Asy-Syaikh Yahya Al-Hajuri, Tahrim At-Tashwir oleh Asy-Syaikh Hamud bin
Abdillah At-Tuwaijiry, Hukmu At-Tashwir Al-Futughrafi oleh Walid bin Raasyid
As-Saidan, Al-Ibraz li Aqwal Al-Ulama` fii Hukmi At-Tilfazh yang dikumpulkan
oleh Luqman bin Abi Al-Qasim]